Lompat ke konten

Mobilitas Kendaraan di Jakarta Kembali Tinggi Selama PPKM Darurat

 

Foto : INSTRAN.id

INSTRAN.id — Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat di DKI Jakarta belum terlalu berhasil menekan mobilitas kendaraan penumpang. Penyekatan kendaraan untuk pekerja yang tidak boleh beraktivitas di luar rumah banyak disiasati dan mobilitas di dalam kota tetap tinggi.

Berdasarkan aturan Instruksi Menteri Dalam Negeri dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta terkait PPKM darurat, hanya pekerja di bidang usaha esensial dan kritikal yang boleh datang ke tempat kerja dengan ketentuan tertentu, demikian juga dengan masyarakat dengan keperluan darurat. Kebijakan ini seharusnya diikuti dengan penurunan mobilitas kendaraan di jalan hingga 50 persen.

Namun, Polda Metro Jaya menemukan mobilitas kendaraan masih fluktuatif bahkan cenderung naik selama penerapan PPKM darurat mulai 3 Juli lalu. Temuan didapat dari analisis data Facebook Mobility, Google Traffic, dan indeks cahaya malam NASA.

”Tanggal 5 Juli mobilitas turun 30 persen. Namun, pada 11 Juli penurunannya hanya 20 persen, jadi warnanya hitam. Padahal, target penurunan 30-50 persen. Artinya, tetap ada peningkatan mobilitas di Jakarta walaupun pada masa PPKM darurat,” papar Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo di Jakarta, Rabu (14/7/2021).

Situasi tersebut terjadi meski 63 titik penyekatan kendaraan pada jam kerja disebar di sejumlah ruas jalan utama dan tol di wilayah DKI Jakarta serta daerah penyangga, yaitu Bekasi, Depok, dan Tangerang. Sambodo menyebut mobilitas kendaraan justru tinggi di wilayah dalam kota.

”Jakarta ini unik karena daerahnya hybrid concentric. Kami jadi sulit membedakan mana residensial, down town, mana pusat kota, dan sebagainya. Ketika ada pembatasan di batas kota, ternyata pergerakan atau mobilitas di dalam kota masih tinggi,” kata Sambodo.

Alasan lain adanya kenaikan mobilitas, menurut dia, karena banyak pengendara yang tidak sesuai kriteria lolos melalui jalur tikus. Meskipun jalur-jalur tikus yang sering dipakai sudah dipetakan, Sambodo mengakui sulit untuk menutup jalur-jalur tersebut. Namun, penambahan titik penyekatan di hilir jalur tikus bisa menjadi solusi.

Pengamat transportasi dari Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang menilai, kendala pembatasan mobilitas kendaraan tersebut bisa diatasi dengan beberapa cara. Terkait jalur tikus, pemimpin dan warga di satuan terkecil wilayah, seperti RT, RW, atau lurah, bisa dilibatkan.

”Mungkin kalau ada koordinasi dengan wilayah lingkungan terkecil yang punya jalan-jalan tikus ini, mereka bisa ikut menyekat para pengguna kendaraan, terutama yang tidak berdomisili di lingkungan itu, dibuktikan dengan KTP, misalnya,” ujar Deddy.

Cara itu, menurut dia, tidak hanya bisa membantu mengurangi mobilitas kendaraan yang dipakai pekerja, tetapi juga masyarakat umum yang memang seharusnya membatasi aktivitas di luar rumah.

Dari sisi penegakan hukum, Deddy mengkritisi kebijakan bertransportasi selama PPKM darurat yang hanya sebatas Surat Edaran Menteri Perhubungan. Aturan itu tidak memberi efek jera kepada pelanggar karena sebatas menegur pengguna jalan dan memutarbalikkan kendaraan.

”Agar polisi bisa membuat penindakan kepada pengendara minimal perlu ada peraturan Menteri Perhubungan. Peraturan ini bisa mengacu pada UU Wabah Penyakit Menular, bukan UU Lalu Lintas. Jadi, kalau ada yang melanggar, polisi bisa menindak, mungkin dengan menyita STNK atau SIM,” katanya.

Evaluasi kebijakan semacam itu, menurut dia, masih bisa dibuat pemerintah yang telah berencana memperpanjang PPKM darurat 6 minggu sejak tanggal 20 Juli.

Sumber : Kompas.id, 14 Juli 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *