Instran.id – Gagasan untuk menerapkan penggunaan NIK saat akan naik layanan KRL sebetulnya bukan merupakan gagasan baru. Tahun 2013 saat PT KAI melakukan pembenahan system tiket di KRL Jabodetabek, dari penggunaan tiket kertas ke elektronik, gagasan itu sudah muncul. Kebetulan saat itu saya diminta oleh DJKA untuk melakukan survey terhadap pengguna KRL Jabodetabek sebagai dasar penentuan siapa yang layak mendapatkan subsidi dan tidak, sehingga bersamaan dengan transformasi di KCJ (Kereta Commuter Jabodetabek) saat itu akan diberlakukan pula kebijakan subsidi tepat sasaran. Artinya, yang berhak memperoleh subsidi tiket lewat PSO adalah kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Namun ketika sedang proses penyusunan instrument survey, kebijakannya diubah, bahwa subsidi tiket untuk semua penumpang, kaya, setengah kaya, maupun miskin. Dalam istilah umum itu namanya subsidi transport. Artinya subsidi tersebut diberikan kepada semua pengguna transportasi umum, baik kaya maupun miskin. Mengapa?
Subdisi bagi golongan tidak mampu adalah membantu mereka agar tetap bisa melakukan pergerakan dengan tiket yang terjangkau, sehingga mereka bisa tetap melakukan mobilitas geografis, termasuk untuk mencari nafkah. Sedangkan subsidi bagi yang mampu adalah sebagai bentuk insentif agar mereka mau meninggalkan kendaraan pribadinya dan beralih ke angkutan umum. Ini sebagai bentuk kebiijakan push and pull strategy mendorong pengguna kendaraan pribadi untuk beralih menggunakan angkutan umum.
Saya pribadi, lebih suka dan lebih mendukung subsidi transportasi daripada subsidi tepat sasaran. Mengapa? Karena jauh lebih banyak keuntungannya dibandingkan subsidi tepat sasaran.
Keuntungan subsidi tepat sasaran itu hanya dirasakan oleh golongan tidak mampu saja dan oleh pemerintah karena subsidinya bisa ditekan. Tapi kalau subsidi transportasi keuntungannya dapat dinikmati oleh semua warga yang menggunakan angkutan umum, polusi udara juga dapat dikurangi karena berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke KRL, kemacetan wlayah Jabodetabek juga dapat dikurangi karena sebagian motor dan mobil parker di stasiun dan penggunanya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan KRL. Anggaran negara mungkin juga bisa dihemat karena subsidi untuk BBM bisa ditekan.
Sungguh Langkah mundur dan tidak punya visi yang jelas bila pemerintah akan memberikan subsidi (harga khusus BBM bagi Ojol), tapi akan menerapkan subsidi tepat sasaran untuk pengguna moda kereta api perkotaan. Ini betul-betul tidak jelas visinya.Kalau visinya untuk menciptakan kota yang betul-betul hijau, ya seperti yang pernah diimpikan oleh Ahok, ingin menggratiskan semua layanan angkutan umum di Jakarta agar semua warga menggunakan angkutan umum dan meninggalkan kendaraan pribadi.
Kalau Kemenhub bermaksud mengurangi subsidi untuk KRL Jabodetabek, segera saja sesuaikan tarif KRL yang sudah tidak pernah disesuaikan sejak 2016. Dengan menyesuaikan tarif KRL secepatnya akan berdampak pada pengurangan subsidi dan menjaga layanan KRL menjadi lebih baik karena perusahaan memiliki cashflow yang cukup untuk beroperasi setiap harinya. DJKA (Direktorat Jendral Perkeretaapian) Kementerian Perhubungan sudah membuat perhitungan mengenai besarnya subsidi yang akan dapat dihemat dengan penyesuaian tarif Rp. 2.000,- saja pada 15 km pertama saja. Kalau orang naik KRL sepanjang 15 km dan membayar Rp. 5.000,- itu masih amat terjangkau. Yang betul-betul tidak mampu, baru mengajukan permohonan keringanan, dan saat itulah penggunaan NIK baru relevan. Tapi kalau penggunaan NIK untuk semua pengguna KRL Jabodetabek dan layanan KCI lainnya jelas tidak tepat.
Ki Darmaningtyas, Ketua INSTRAN (Inisiatif Strategis untuk Transportasi) di Jakarta