Terminal Bus dan Angkutan Umum Perlu Perubahan Radikal

 

Suasana pembangunan proyek terminal pondok cabe di Tangerang Selatan, Banten, Selasa (09/01/2018). Terminal ini dibuat untuk menggantikan Terminal Bus Lebak Bulus yang dibangun menjadi stasiun dan depo kereta angkutan cepat massal (MRT).(KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI)

INSTRAN.id – PERMASALAHAN angkutan jalan saat ini adalah kualitas pelayanan terminal yang terus menurun, sementara di sisi lain terjadi perubahan pola perjalanan masyarakat.

Tuntutan kualitas pelayanan transportasi umum meningkat seiring dengan peningkatan kualitas pendidikan dan perekonomian masyarakat.

Sayangnya, teknologi informasi yang memaksa perubahan manajemen transportasi angkutan umum ternyata kurang diimbangi oleh regulasi angkutan jalan.

Regulasi atau aturan angkutan jalan masih sulit berubah kendati moda lain sudah banyak melakukan perubahan.

Contohnya, masih banyak terjadi awak bus yang pendapatannya dibayar hanya berdasarkan persentase setoran harian kepada pengusaha angkutan umum.

Wajar jika hingga kini, pelayanan terminal bus masih mendapat stigma buruk di masyarakat.

Bahwa di terminal masih banyak calo tiket, kumuh, kotor, bau, tindak kriminal (copet, pelecehan seksual), dan tidak steril untuk penumpang.

Kondisi seperti inilah yang mengakibatkan pengguna angkutan umum bus enggan datang ke terminal.

Terlebih terminal bus selalu berada di lokasi pinggiran kota yang sangat jauh aksesnya dari pusat kota.

Semakin jauh terminal bus dari pusat keramaian kota, menyebabkan masyarakat kesulitan mengaksesnya.

Bila menggunakan angkutan umum menuju ke terminal terlalu merepotkan karena mungkin harus transit beberapa kali.

Perlu diketahui, umumnya masyarakay bebergian jauh pasti membawa barang bawaan banyak yang tentunya memerlukan kemudahan untuk transit.

Bandingkan dengan moda kereta api yang letak stasiunnya berada di tengah kota, tentunya masyarakat akan lebih mudah dan nyaman datang, sehingga demand kereta api selalu meningkat tiap tahun.

Letak lokasi terminal bus dan bandar udara sama-sama di pinggiran yang jauh dari pusat kota, tetapi pesawat terbang jauh lebih cepat sampai ke tujuan dibandingkan moda angkutan umum bus walau menggunakan akses jalan tol.

Mengunakan pesawat dari Jakarta cukup waktu tempuh 1 jam menuju Solo, sedangkan menggunakan moda bus memerlukan waktu paling cepat 7 jam (via tol).

Bila mengharapkan moda angkutan bus tetap dilirik oleh masyarakat memang sebaiknya pilihan lokasi terminal bus berada di pusat kota atau pusat keramaian masyarakat (ruang komunal).

Multidisiplin
Pengolahan tata letak terminal bus memang multi-disiplin ilmu yang akan melibatkan desain perencanaan kota dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan lebih detail dibahas dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK).

Saya sampai sekarang masih kesulitan menemukan data-data penumpang bus secara nasional, bahkan data penumpang bus AKAP/AKDP se-Jawa pun tidak tersedia.

Badan Pusat Statistik (BPS) pun tidak menyediakan data-data penumpang angkutan darat/bus secara tahunan.

Namun sebaliknya data-data penumpang kereta api, penerbangan dan pelayaran disediakan lengkap sampai di jaringan pelosok negeri.

Kondisi seperti ini boleh dikatakan bahwa para stakeholder masih enggan mengelola moda angkutan darat/bus secara serius.

Untuk analisis dan hipotesis barangkali kita pakai data penumpang mudik Lebaran yang ada koherensi antara demand/supply transportasi angkutan jalan/bus tiap tahun.

Dalam evaluasi Lebaran 2019 Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengungkapkan jumlah pemudik yang menggunakan moda transportasi umum pada musim Lebaran 2019 mengalami penurunan 17,18 persen.

Jumlah pemudik yang menggunakan moda transportasi umum melalui jalan baik tol dan non-tol seperti bus pada Lebaran 2019 tercatat 2.196.341 penumpang.

Jumlah tersebut menurun jika dibandingkan pada Lebaran 2018 yang mencapai 3.052.208 penumpang. Hanya moda kereta api yang mengalami kenaikan sekitar 2,95 persen.

Bila kita mundur lagi ke belakang tahun 2014-2016 (Data eveluasi Lebaran 2017) penumpang mudik lebaran transportasi darat atau angkutan Jalan tahun 2014 sebanyak 5.231.389, 2015 sejumlah 4.697.945, dan 2016 sebanyak 4.416.119, terjadi penurunan 8 persen.

Sedang moda lain mengalami kenaikan positif, angkutan penyeberangan mengalami kenaikan sebesar 4 persen, angkutan laut sebesar 1 persen, dan angkutan udara sebesar 13 persen, serta angkutan kereta api sebesar 2 persen.

Jadi sebenarnya sebelum 2019 pengguna angkutan jalan/bus secara statistik setiap tahun mengalami penurunan secara menerus.

Bersyukur telah tersambungnya jalan Tol Trans-Jawa dan beberapa ruas tol di Sumatera, demand pengguna bus kembali bergairah.

Informasi dari Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) tahun 2019 menyatakan bahwa peningkatan jumlah penumpang pada bus antarkota antarprovinsi (AKAP) dapat terjadi kenaikan rata-rata dapat naik sekitar 30 persen karena tersambungnya jalan tol.

Sebenarnya kondisi itu belum terhitung yang terganggu load of factor-nya oleh karena travel-travel gelap (plat hitam) yang lewat di jalan tol.

Namun kenyamanan Tol Trans-Jawa sampai kapan harus diperhitungkan lagi, apabila pembelian kendaraan pribadi juga meningkat inline dengan pembangunan jalan tol.

Artinya moda angkutan jalan/bus akan bersaing sendiri dengan pengguna mobil pribadi di jalan tol.

Harapan Terminal Bus
Perbaikan manajemen angkutan jalan paling ideal berangkat dari perbaikan mutu terminalnya sebagai ruang transit antar moda dan intermodal.

Permenhub Nomor 132 Tahun 2015 tentang Penyelanggaraan Terminal Angkutan Jalan, Pasal 34 menyebutkan bahwa pengoperasian terminal dilaksanakan oleh Pemerintah.

Terminal Tipe A yang mengoperasikan Pemerintah Pusat Kementerian Perhubungan, Terminal Tipe B yang mengoperasikan Pemerintah Provinsi dan Terminal tipe C yang mengoperasikan Pemerintah Kota/Kabupaten.

Jadi semua tipe terminal yang mengoperasikan adalah pemerintah dengan jajaran pegawai negeri sipil.

Bila melihat regulasi di atas, manajemen terminal angkutan jalan tentunya masih konsevatif karena dikelola oleh regulator sendiri (Pemerintah).

Regulator tidak dapat mengelola terminal sendiri karena fungsi regulator adalah membuat aturan, kontrol dan pengawasan.

Artinya tidak mungkin membuat aturan/regulasi sendiri lalu diawasi sendiri. Operator terminal akan lebih profesional apabila dikelola oleh korporasi seperti badan pengelola (BP) independen, seperti halnya BUMD/BUMN atau swasta.

Contoh pada moda lain seperti moda pelayaran pelabuhan laut dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo 1,2,3, moda penerbangan dikelola oleh PT Angkasa Pura (Persero) atau AP 1,2, dan moda perkeretaapian stasiun dikelola oleh PT KAI/KCI, PT MRTJ, PT LRTJ dan PT KCIC.

Preseden positif yang lain adalah awalnya PT KAI sebagai badan/perusahaan negara (transfomasinya: DDKA, DKA, PNKA, PJKA, Perumka, PT KA), pegawainya berstatus PNS karena dibawah Kemenhub.

Namun tahun 2005 dipisahkan antara fungsi regulator dan operator, sehingga terbentuklah Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) subordinat Kemenhub sebagai regulator, sedangkan PT KA (Persero) sebagai operator sarana dan prasarana kereta api dengan status pegawai non-PNS (di bawah Kemeneg BUMN).

Memang saat ini angkutan jalan belum mempunyai badan sendiri yang independen untuk mengelola terminal

Bila secara quick win diperlukan badan khusus yang mengelola terminal bus (operator terminal), yang paling realistis dan cepat adalah dibentuknya Badan Pengelola (BP), lalu bisa juga berganti Badan Layanan Umum (BLU) yang bekerja dapat berstatus PNS atau non-PNS, setelah lima tahun dapat mengajukan menjadi Perum atau PT (Perseroan).

Manajemen angkutan jalan harus berani mengubah dirinya melalui basis pengelolaan terminal yang sejatinya dapat berfungsi beragam (multi-function), menjadi satu titik orientasi transit (simpul utama) untuk belanja, bekerja, hunian, belajar, wisata dan fungsi lainnya.

Terminal bus juga dapat berfungsi menjadi transit joint development (TJD) dan transit oriented development (TOD).

Terminal bus kita terlalu luas lahannya, bahkan untuk terminal tipe A memerlukan ruang minimal 3,5 hektar.

Bandingkan dengan terminal bus di luar negeri yang mapan transportasinya, hanya untuk antar dan jemput penumpang.

Jadi di luar negeri tidak ada ruang pengendapan bus, fasilitas bengkel, penginapan awak bus, semuanya itu dilakukan di pool (garasi) masing-masing PO Bus.

Kita bandingkan dengan terminal bus di TOD Shinjuku, Jepang, hanya menempel pada stasiun kereta api, namun permintaan perjalannya sangat tinggi karena memang terintegrasi dengan moda kereta api.

Sumber : Kompas.com, 21 Juni 2021

https://www.kompas.com/properti/read/2021/06/21/210000721/terminal-bus-dan-angkutan-umum-perlu-perubahan-radikal?page=all

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *